Warning

Maaf, artikel di Blog ini tidak dapat di copy dengan cara biasa. Beberapa artikel dapat di-download, link-nya ada di bagian akhir (paling bawah).

Rabu, 28 Mei 2014

Makalah Ilmu Hadis: Kodifikasi Hadis

BAB I
PENDAHULUAN
 

A. Latar Belakang
      Hadis merupakan sumber Hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an. Oleh karena hadis menduduki peringkat kedua setelah Al-Qur’an, maka suatu keharusan bagi kaum muslimin untuk meMpelajarinya. Hadis memang diperlukan untuk menjelaskan, dan menegaskan apa yang tertuang secara global dalam al-Qur’an. Tanpa mengenal hadis, rasanya sulit untuk memahami ilmu-ilmu keislaman. Sebagaimana dikemukakan oleh al-Zarkasyi (1344-1391) bahwa Ilmu Hadis termasuk ilmu yang telah matang dan telah pula terbakar, artinya ilmu yang banyak dibahas oleh para ulama dan menjadi mahkota ilmu-ilmu keislaman.
      Meskipun Hadis bukanlah hal yang baru bagi masyarakat Islam masa kini, karena semenjak Muhammad saw dikenal dengan nama hadis. Hadis tidak lain adalah segala yang dinukilkan pada Rasulullah baik perkataan, perbuatan, takrir dan hal-ikhwalnya. Namun yang menarik adalah kenapa hadis ini baru dihimpun (dikodifikasikan) secara resmi pada masa khalifah Umar ibn Abdul Aziz -khalifah Ummayyah kedelapan-? Apa sebelum masa Umar ibn Abdul Aziz tidak ada usaha untuk mengkodifikasikan hadis.
      Dalam makalah ini dibahas bagaimana peran khalifah Umar ibn Abdul Aziz dala kodifikasi hadis, peran Imam al-Zuhry, dan Kritik Ulama terhadap Imam al-Zuhry. Namun terlebih dahulu akan dibahas pengertian kodifikasi dan bagaimana penulisan hadis pada masa Nabi.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian kodifikasi hadist?
2. Kapan kodifikasi hadist secara resmi?
3. Bagaimanakah perkembangan hadist?
C. Tujuan
       Ada satu hal yang perlu dicatat, bahwa keberadaan hadis jelas berbeda dengan al-Qur’an. Untuk kasus al-Qur’an, hampir bisa dikatakan tidak ada tenggang waktu antara masa turun, penulisan dan kodifikasinya, bahkan Rasul sendiri telah menunjuk beberapa sahabatnya menjadi penulis wahyu. Sementara untuk hadis, kodifikasi hadis secara resmi, massal dan serentak --khususnya Kutub al-Sittah-- memiliki rentang yang cukup panjang dengan masa Nabi. Realitas tersebutlah yang mencuatkan pandangan beberapa pihak untuk mempersoalkan orisinalitas dan otentitas hadis Nabi.
       Oleh karena itu, dalam artikel ini penulis akan mengemukakan bagaimana dan kapan sebenarnya hadis mulai ditulis untuk kemudian dikodifikasikan dalam sebuah kitab. Berapa lama diperlukan untuk mentransmisi “hadis” dalam bentuk “laporan tertulis” qaul, fi’il dan taqrir Nabi, sehingga akan dapat menampakkan perlu tidaknya mempersoalkan otentitas dan orisinalitas hadis Nabi.
 
BAB II
PEMBAHASAN
 

A. Pengertian Kodifikasi
      Yang dimaksud kodifikasi (tadwin) adalah mengumpulkan, menghimpun atau membukukan, yakni mengumpulkan dan menertibkannya. Adapun yang dimaksud dengan kodifikasi hadis adalah menghimpun catatan-catatan hadis Nabi dalam mushaf. Secara umum dapat disimpulkan bahwa kodifikasi ialah suatu proses dimana dilakukannya upaya penghimpunan, pembukuan, pengklasifikasian, pencatat dan pemberian tanda terhadap suatu objek tertentu. Apabila yang menjadi objek penghimpunan, pengumpulan dan pencatatan itu adalah hadis-hadis, disebutlah kodifikasi hadis. Dengan demikian, secara sederhana kodifikasi dapat diartikan sebagai usaha menghimpun, mengumpul dan mencatat hadis- hadis Rasul saw. dalam buku.
       Antara kodifikasi (tadwin) hadis dan Jam’ul Qur’an memiliki perbedaan. Sebagaimana dikatakan M. Quraisy Syihab , pencatatan dan penghimpunan (tadwin) hadis Nabi tidak sama dengan pencatatan dan penghimpunan (tadwin) hadis Nabi tidak sama dengan pencatatan dan penghimpunan al-Qur’an (Jam’ul Qur’an) . Dalam tadwin hadis, tidak dibentuk tim, sedangkan dalam Jam’ul Qur’an dibentuk tim . Kegiatan penghipunan hadis dilakukan secara mandiri oleh masing-masing ulama ahli hadis. Sekiranya penghimpunan hadis itu harus dilakukan oleh sebuah tim, niscaya tim itu akan menjumpai banyak kesulitan, karena jumlah periwayat hadis sangat banyak dan tempat tinggal mereka tersebar di berbagai daerah Islam yang cukup berjauhan.
       Di samping itu, hadis Nabi tidak hanya termuat dalam satu kitab saja. Kitab yang memuat hadis Nabi cukup banyak ragamnya, baik dilihat dari segi nama penghimpunnya, cara penghimpunannya, masalah yang dikemukakannya, maupun bobot kualitasnya. Sedangkan kitab yang menghimpun Seluruh ayat al-Qur’an yang dikenal dengan Mushaf al-Qur’an hanya satu macam saja. Dengan demikian, penghimpunan hadis Nabi berbeda dengan penghimpunan al-Qur’an.
       Masa kodifikasi (tadwin) hadis terbagi dua, yaitu kodifikasi hadis yang bersifat pribadi (tadwin al-syakhshiy) dan kodifikasi hadis secara resmi (tadwin al-rasmiy). Kodifikasi yang bersifat pribadi belum menjadi kebijaksanaan pemerintah secara resmi sudah dimulai sejak masa Rasul. Sementara kodifikasi hadis secara resmi menjadi kebijaksanaan pemerintah secara resmi baru dimulai pada masa Umar ibn Abdul Aziz. 
B. Kodifikasi Hadist Secara Resmi
1. Kenapa kemudian Hadits Dikodifikasi
        Kodifikasi Hadits itu justru dilatar belakangi oleh adanya usaha-usaha untuk membuat dan menyebarluaskan hadits-hadits palsu dikalangan ummat Islam, baik yang dibuat oleh ummat Islam sendiri karena maksud-maksud tertentu, maupun oleh orang-orang luar yang sengaja untuk menghancurkan Islam dari dalam. Dan sampai saat ini ternyata masih banyak hadits-hadits palsu itu bertebaran dalam beberapa literatur kaum Muslimin. Di samping itu tidak sedikit pula kesalahan-kesalahan yang berkembang dikalangan masyarakat Islam, berupa anggapan terhadap pepatah-pepatah dalam bahasa Arab yang dinilai mereka sebagai hadits.
       Walaupun ditinjau dari segi isi materinya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip pokok ajaran Islam, tetapi kita tetap tidak boleh mengatakan bahwa sesuatu ucapan itu sebagai ucapan Rasulullah kalau memang bukan sabda Rasul. Sebab Sabda Rasulullah : "Barangsiapa berdusta atas namaku maka siap-siap saja tempatnya dineraka".
       Alhamdulillah, berkat jasa-jasa dari ulama-ulama yang saleh, hadits-hadits itu kemudian sempat dibukukan dalam berbagai macam buku, serta diadakan seleksi-seleksi ketat oleh mereka sampai melahirkan satu disiplin ilmu tersendiri yang disebut Ilmu Musthalah Hadits. Walaupun usaha mereka belum dapat membendung seluruh usaha-usaha penyebaran hadits-hadits palsu dan lemah, namun mereka telah melahirkan norma-norma dan pedoman-pedoman khusus untuk mengadakan seleksi sebaik-baiknya yang dituangkan dalam ilmu musthalah hadits tersebut.
       Sehingga dengan pedoman itu ummat Islam sekarang pun dapat mengadakan seleksi-seleksi seperlunya. Nama-nama Ishak bin Rahawih, Imam Bukhari, Imam Muslim, ar-Rama at-Turmudzi, al-Madini, Ibnu Shalah dan banyak lagi ulama-ulama saleh lainnya adalah rentetan nama-nama yang besar jasanya dalam usaha penyelamatan hadits-hadits dari kepalsuan-kepalsuan sehingga lahirlah ilmu tersebut.
2. Pendapat Ulama tentang KApan Kodifikasi Secara Resmi
    Ada beberapa pendapat yang berkembang mengenai kapan kodifikasi secara resmi dan serentak dimulai.
a. Kelompok Syi’ah, mendasarkan pendapat Hasan al-Sadr (1272-1354 H), yang menyatakan bahwa penulisan hadis telah ada sejak masa Nabi dan kompilasi hadis telah ada sejak awal khalifah Ali bin Abi Thalib (35 H), terbukti adanya Kitab Abu Rafi’, Kitab al-Sunan wa al-Ahkam wa al-Qadaya..
b. Sejak abad I H, yakni atas prakarsa seorang Gubernur Mesir ‘Abdul ‘Aziz bin Marwan yang memerintahkan kepada Kathir bin Murrah, seorang ulama HImsy untuk mengumpulkan hadis, yang kemudian disanggah Syuhudi Ismail dengan alasan bahwa perintah ‘Abdul ‘Aziz bin Marwan bukan merupakan perintah resmi, legal dan kedinasan terhadap ulama yang berada di luar wilayah kekuasaannya.
c. Sejak awal abad II H, yakni masa Khalifah ke-5 Dinasti ‘ Abbasiyyah, ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz yang memerintahkan kepada semua gubernur dan ulama di wilayah kekuasaannya untuk mengumpulkan hadis-hadis Nabi. Kepada Ibnu Shihab al-Zuhri, beliau berkirim surat yang isinya:” Perhatikanlah hadis Rasulullah SAW., lalu tulislah. Karena aku mengkhawatirkan lenyapnya ilmu itu dan hilangnya para ahli” dan kepada Abu Bakar Muhammad ibn ‘Amr ibn Hazm, beliau menyatakan: “Tuliskan kepadaku hadis dari Rasulullah yang ada padamu dan hadis yang ada pada ‘Amrah (Amrah binti Abdurrahman, w. 98 H), karena aku mengkhawatirkan ilmu itu akan hilang dan lenyap.”
       Pendapat ketiga ini yang dianut Jumhur Ulama Hadis, dengan pertimbangan jabatan khalifah gaungnya lebih besar daripada seorang gubernur, khalifah memerintah kepada para gubernur dan ulama dengan perintah resmi dan legal serta adanya tindak lanjut yang nyata dari para ulama masa itu untuk mewujudkannya dan kemudian menggandakan serta menyebarkan ke berbagai tempat.
      Dengan demikian, penulisan hadis yang sudah ada dan marak tetapi belum selesai ditulis pada masa Nabi, baru diupayakan kodifikasinya secara serentak, resmi dan massal pada awal abad II H, yakni masa ‘Umar bin ‘Abdul’Aziz, meskipun bisa jadi inisiatif tersebut berasal dari ayahnya, Gubernur Mesir yang pernah mengisyaratkan hal yang sama sebelumnya.
      Adapun siapa kodifikator hadis pertama, muncul nama Ibnu Shihab al-Zuhri (w. 123 H), karena beliaulah yang pertama kali mengkompilasikan hadis dalam satu kitab dan menggandakannya untuk diberikan ke berbagai wilayah, sebagaimana pernyataannya: ”Umar bin ‘Abdul ‘Aziz memerintahkan kepada kami menghimpun sunnah, lalu kami menulisnya menjadi beberapa buku.” Kemudian beliau mengirimkan satu buku kepada setiap wilayah yang berada dalam kekuasaannya. Demikian pandangan yang dirunut sebagian besar sejarawan dan ahli Hadis. Adapun ulama yang berpandangan Muhammad Abu Bakr ibn Amr ibn Hazm yang mengkodifikasikan hadis pertama, ditolak oleh banyak pihak, karena tidak digandakannya hasil kodifikasi Ibn Amr ibn Hazm untuk disebarluaskan ke berbagai wilayah.
      Meski demikian, ada juga yang berpendapat bahwa kodifikator hadis sebelum adanya instruksi kodifikasi dari Khalifah Umar ibn ‘Abdul ‘Azia telah dilakukan, yakni oleh Khalid bin Ma’dan (w. 103 H). Rasyid Ridha (1282-1354 H) berpendapat seperti itu, berdasar periwayatan, Khalid telah menyusun kitab pada masa itu yang diberi kancing agar tidak terlepas lembaran-lembarannya. Namun pendapat ini ditolak ‘Ajjaj al-Khatib, karena penulisan tersebut bersifat individual, dan hal tersebut telah dilakukan jauh sebelumnya oleh para sahabat. Terbukti adanya naskah kompilasi hadis dari abad I H, yang sampai kepada kita, yakni al-Sahifah al-Sahihah.
3. Faktor-faktor yang mendorong kodifikasi
      Ada beberapa hal yang mendorong ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz mengambil inisiatif untuk memerintahkan para gubernur dan pembantunya untuk mengumpulkan dan menulis hadis, diantaranya adalah :
a. Tidak ada lagi kekhawatiran bercampurnya hadis dengan Alquran, karena Alquran ketika itu telah dibuktikan dan disebarluaskan.
b. Munculnya kekhawatiran akan hilang dan lenyapnya hadis karena banyak para sahabat yang meninggal dunia akibat usia atau karena seringnya terjadi peperangan.
c. Semakin maraknya kegiatan pemalsuan hadis yang dilatar belakangi oleh perpecahan politik dan perbedaan mazhab di kalangan umat Islam. Hal ini upaya untuk menyelamatkan hadis dengan cara pembukuannya setelah melalui seleksi yang ketat harus segera dilakukan.
d. Karena telah semakin luasnya daerah kekuasaan Islam disertai dengan semakin banyak dan kompleksnya permasalahan yang dihadapi umat Islam, maka hal tersebut menuntut mereka untuk mendapat petunjuk dari hadis Nabi saw., selain petunjuk Alquran.
C. Perkembangan Kitab-kitab Hadits
1. Cara penyusunan kitab-kitab hadits.
     Dalam penyusunan kitab-kitab hadits para ulama menempuh cara-cara antara lain :
a. Penyusunan berdasarkan bab-bab fiqhiyah, mengumpulkan hadits-hadits yang berhubungan dengan shalat umpamanya dalam babush-shalah,hadits-hadits yang berhubungan dengan masalah wudhu dalam babul-wudhu dan sebagainya. Cara ini terbagi dua macam :
     i. Dengan mengkhususkan hadits-hadits yang shahih saja, seperti yang ditempuh oleh Imam Bukhari dan Muslim.
    ii. Dengan tidak mengkhususkan hadits-hadits yang shahih ( asal tidak munkar ), seperti yang ditempuh oleh Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa'I, dan sebagainya.
b. Penyusunan berdasarkan nama-nama sahabat yang meriwayatkannya. Cara ini terbagi empat macam :
     i. Dengan menyusun nama-nama sahabat berdasarkan abjad.
     ii. Dengan menyusun nama-nama sahabat berdasarkan nama qabilah. Mereka dahulukan Banu Hasyim, kemudian qabilah yang terdekat dengan Rasulullah.
    iii. Dengan menyusun nama-nama sahabat berdasarkan kronologik masuknya Islam. Mereka didahulukan sahabat-sahabat yang termasuk assabiqunal awwalun kemudian ahlul Badr, kemudian ahlul Hudaibiyah, kemudian yang turut hijrah dan seterusnya.
    iv. Dengan menyusun sebagaimana ketiga dan dibagi-bagi berdasarkan awamir, nawahi, ikhbar, ibadat, dan af'alun nabi. Seperti yang ditempuh oleh Ibnu Hibban dalam shahehnya.
c. Penyusunan berdasarkan abjad-abjad huruf dari awal matan hadits, seperti yang ditempuh oleh Abu Mansur Abdailani dalam Musnadul Firdausi dan oleh as-Suyuti dalam Jamiush-Shagir.
2. Kitab-kitab Hadits Pada Abad ke-2 H.
     Pada awal abad II H, spesifikasi buku, catatan ataupun kitab-kitab hadis yang muncul dapat dikategorikan menjadi dua: (a) berisi catatan hadis an-sich, koleksi acak tanpa sistematisasi bahan (b) berisi hadis yang tercampur dengan keputusan resmi yang diarahkan oleh khalifah, sahabat, atau tabi’in tidak tersistematisasi dan merupakan koleksi acak.
     Baru pada pertengahan abad II H, mengalami perubahan trend, yang mengarah pada sistematisa isi kitab berdasar tema-tema tertentu, meski materi hadis masih berbaur dengan ucapan-ucapan sahabat maupun pendapat-pendapat tabi’in (hadith marfu’, mauquf dan maqtu’), masih berbaurnya berbagai hadis dalam kualitas (sahih, hasan, da’if) dalam satu kitab. Di antara kitab-kitab hadis yang lahir abad II H, kitab al-Muwatta’ karya Imam Malik termasuk kitab tertua yang berhasil ditemukan. Kitab-kitab hadist pada abad ke-II diantara lain :
a. Al-Musnad oleh Imam Abu Hanifah an-Nu'man ( wafat 150 H ).
b. Al-Muwaththa oleh Imam Malik Anas ( 93 - 179 H ).
c. Al-Musnad oleh Muhammad bin Idris asy-Syafi'I ( 150 - 204 H ).
d. Mukhtaliful Hadits oleh Muh, bin Idris asy-Syafi'I ( 150 - 204 H ).
e. Al-Musnad oleh Imam Ali Ridha al-Katsin ( 148 - 203 H ).
f. Al-Jami' oleh Abdulrazaq al-Hamam ash Shan'ani ( wafat 311 H ).
g. Mushannaf oleh Imam Syu'bah bin Jajaj ( 80 - 180 H ).
h. Mushannaf oleh Imam Laits bin Sa'ud ( 94 - 175 H ).
i. Mushannaf oleh Imam Sufyan bin ‘Uyaina ( 107 - 190 H ).
j. as-Sunnah oleh Imam Abdurrahman bin ‘Amr al-Auza'i ( wafat 157 H).
k. as-Sunnah oleh Imam Abd bin Zubair b. Isa al-Asadi.
Seluruh kitab-kitab hadits yang ada pada abad ini tidak sampai kepada kita kecuali 5 buah saja yaitu nomor 1 sampai dengan 5.
3. Kitab-kitab Hadits pada abad ke-3 H.
      Pada abad III H, kodifikasi hadis mengalami masa keemasan dengan munculnya beragam kitab-khususnya Kutub al-Sittah--dengan beragam metode penyusunan, ada Kitab Jami’, Sahih, Musnad, Sunan, Mustadrak, Mustakhraj, Mustadrak,dsb.. Satu spesifikasi yang kentara terlihat, kitab disusun berdasar permasalahan tertentu yang dibagi menjadi bab-bab dan sub-sub bab; dipisahkan antara hadis marfu’, mauquf dan maqtu; dipisahkan kualitas hadis sahih, hasan dan da’if. Masing-masing kitab memiliki kekhasan yang dimiliki pengarangnya. Oleh karenanya untuk merujuk sebanyak mungkin satu tema hadis tertentu secara komprehensif adalah dengan mempergunakan sebanyak mungkin informasi dari berbagai kitab hadis qualified. Diantaranya ialah :
a. Ash-Shahih oleh Imam Muh bin Ismail al-Bukhari ( 194 - 256 H ).
b. Ash-Shahih oleh Imam Muslim al-Hajjaj ( 204 - 261 H ).
c. As-Sunan oleh Imam Abu Isa at-Tirmidzi ( 209 - 279 H ).
d. As-Sunan oleh Imam Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy'at ( 202 - 275 H ).
e. As-Sunan oleh Imam Ahmad b.Sya'ab an-Nasai ( 215 - 303 H ).
f. As-Sunan oleh Imam Abu Muhammad Abdullah bin Abdurrahman ad Damiri ( 181 - 255 H ).
g. As-Sunan oleh Imam Muhammad bin Yazid bin Majah Ibnu Majah (209- 273H)
h. Al-Musnad oleh Imam Ahmad bin Hambal ( 164 - 241 H).
i. Al-Muntaqa al-Ahkam oleh Imam Abd Hamid bin Jarud ( wafat 307 H ).
j. Al-Mushannaf oleh Imam Ibn. Abi Syaibah ( wafat 235 H ).
k. Al-Kitab oleh Muhammad Sa'id bin Manshur ( wafat 227 H ).
l. Al-Mushannaf oleh Imam Muhammad Sa'id bin Manshur  ( wafat 227 H ).
m. Tandzibul Afsar oleh Imam Muhammad bin Jarir at-Thobari (wafat 310H)
n. Al-Musnadul Kabir oleh Imam Baqi bin Makhlad al-Qurthubi (wfat 276H)
o. Al-Musnad oleh Imam Ishak bin Rawahaih ( wafat 237 H ).
p. Al-Musnad oleh Imam ‘Ubaidillah bin Musa ( wafat 213 H ).
q. Al-Musnad oleh Abdibni ibn Humaid ( wafat 249 H ).
r. Al-Musnad oleh Imam Abu Ya'la ( wafat 307 H ).
s. Al-Musnad oleh Imam Ibn. Abi Usamah al-Harits ibn Muhammad at-Tamimi ( 282 H ).
t. Al-Musnad oleh Imam Ibnu Abi ‘Ashim Ahmad bin Amr asy-Syaibani ( wafat 287 H ).
u. Al-Musnad oleh Imam Ibnu Abi'amrin Muhammad bin Yahya Aladani ( wafat 243 H ).
v. Al-Musnad oleh Imam Ibrahim bin al-Askari ( wafat 282 H ).
w. Al-Musnad oleh Imam bin Ahmad bin Syu'aib an-Nasai ( wafat 303 H ).
x. Al-Musnad oleh Imam Ibrahim bin Ismail at-Tusi al-Anbari (wafat 280 H).
y. Al-Musnad oleh Imam Musaddad bin Musarhadin ( wafat 228 ).

4. Kitab-kitab Hadits Pada Abad ke-4 H.
a. Al-Mu'jam Kabir, ash-Shagir dan al-Ausath oleh Imam Sulaiman bin Ahmad ath-Thabrani ( wafat 360 H ).
b. As-Sunan oleh Imam Darulkutni ( wafat 385 H ).
c. Ash-Shahih oleh Imam Abu Hatim Muhammad bin Habban (wafat 354 H).
d. Ash-Shahih oleh Imam Abu ‘Awanah Ya'qub bin Ishaq ( wafat 316 H ).
e. Ash-Shahih oleh Imam Ibnu Huzaimah Muhammad bin  Ishaq (wft 311H).
f. Al-Muntaqa oleh Imam Ibnu Saqni Sa'id bin'Usman al-Baghdadi (w.353H)
g. Al-Muntaqa oleh Imam Qasim bin Asbagh ( wafat 340 H ).
h. Al-Mushannaf oleh Imam Thahawi ( wafat 321 H ).
i. Al-Musnad oleh Imam Ibnu Jami Muhammad bin Ahmad ( wafat 402 H ).
j. 10.Al-Musnad oleh Imam Muhammad bin Ishaq ( wafat 313 H ).
k. 11.Al-Musnad oleh Imam Hawarizni ( wafat 425 H ).
l. 12.Al-Musnad oleh Imam Ibnu Natsir ar-Razi ( wafat 385 H ).
m. 13.Al-Mustadrak ‘ala-Shahihaini oleh Imam Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah al-Hakim an-Naisaburi ( 321 - 405 H ).
5. Perkembangan Ilmu Hadits
      Ilmu Hadits yang kemudian populer dengan ilmu mushthalah hadits adalah salah satu cabang disiplin ilmu yang semula disusun oleh Abu Muhammad ar-Rama al-Hurmuzi ( wafat 260 ), walaupun norma-norma umumnya telah timbul sejak adanya usaha pengumpulan dan penyeleksian hadits oleh masing-masing penulis hadits.
      Secara garis besarnya ilmu hadits ini terbagi kepada dua macam yaitu : ilmu hadits riwayatan dan ilmu hadits dirayatan. Ilmu hadits dirayatan membahas hadits dari segi diterima atau tidaknya, sedang ilmu hadits riwayatan membahas materi hadits itu sendiri. Dalam perkembangan berikutnya telah lahir berbagai cabang ilmu hadits, seperti :
a. Ilmu rijalul hadits, yaitu ilmu yang membahas tokoh-tokoh yang berperan dalam periwayatan hadits.
b. Ilmu jarh wat-ta'dil, yaitu ilmu yang membahas tentang jujur dan tidaknya pembawa-pembawa hadits.
c. Ilmu panilmubhamat, yaitu ilmu yang membahas tentang orang-orang yang tidak nampak peranannya dalam periwayatan suatu hadits.
d. Ilmu tashif wat-tahrif, yaitu ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang berubah titik atau bentuknya.
e. Ilmu ‘ilalil hadits, yaitu ilmu yang membahas tentang penyakit-penyakit yang tidak nampak dalam suatu hadits, yang dapat menjatuhkan kwalitas hadits tersebut.
f. Ilmu gharibil hadits, yaitu ilmu yang membahas tentang kalimat-kalimat yang sukar dalam hadits.
g. Ilmu asbabi wurudil hadits, yaitu ilmu yang membahas tentang sebab timbulnya suatu hadits.
h. Ilmu talfiqil hadits, yaitu ilmu yang membahas tentang cara mengumpulkan hadits yang nampaknya bertentangan.

Sumber: Lupa dan tidak saya temukan di arsip saya.

Makalah ini dapat didownload di sini.


























































































































Tidak ada komentar:

Posting Komentar