Berikut ini adalah tulisan seorang anak SMA kelas 2 dari Sulawesi Barat, saya menyebut tulisan ini cerpen atau cerita pendek. Selamat membaca... ^_^
Mutiara
Oleh: Sa’ida Ghorizatun Atika
Matahari senja hanya menunggu beberapa menit lagi untuk
menghilang dari langit biru dan akan digantikan oleh bulan. Dua insan muda
selalu menikmati saat-saat seperti ini di pinggir pantai.
“Kau diam-diam mengambil gambarku?” gadis yang tadinya
memandang matahari terbenam menoleh kebelakang.
Pemuda yang membawa sebuah kamera itu tersenyum dan
meghampirinya. Duduk di sampingnya.
“Orangnya juga tidak marah,” ujar pemuda berwajah chinees
itu seraya tersenyum meledek.
“Siapa bilang? Aku model professional, jadi mana bias kau
mengambil gambarku secara diam-diam” balasnya dengan nada yang dibuatnya agar
terdengar serius.
Pemuda itu menarik napa. Matanya mengarah pada matahari
senja.
“Coba lihat. Kita telah bersalah datang ke sini berdua”
Sekar mengernyitkan kening. Pemuda itu menatap lekat gadis
di sampingnya.
“Kita telah bersalah membuat matahari bersedih,” lanjutnya.
Sekar semakin tidak mengerti.
“Dari pagi sampai sekarang, dia masih saja sendiri.
Sedangkan kita? Kita selalu bermesraan di sini… Mungkin itu sebabnya matahari
panas. Dia cemburu pada kita yang selalu memperlihatkan kebahagiaan kita
padanya,”
Sekar tertawa kecil. “Ya sudah, kita carikan saja pasangan
untuk dia”
“Hahahaha…. Kamu ada-ada saja,” pemuda itu mengacak-acak
rambut Sekar yang memang sudah tidak beraturan akibat tertiup angin pantai.
“Kamu juga ada2 saja. Matahari itu kan benda
mati,” ucapnya sambil memperbaiki rambutnya. Kemudian pandangannya kembali pada
matahari senja. “Lagian dia gak sendiri. Setelah malam tiba, dia akan kembali
pada keluarganya. Bintanag-bintang lain,” lanjutnya yang mulai merasa sendu.
Pemuda itu merangkul pinggang Sekar. Tanpa sungkan Sekar
menyandarkan kepalanya kepundak pemuda yang mempunyai bahu lebar itu. Pemuda itu
tahu betul apa yang dirasakan Sekar. Tanpa berkata apapun dia berusaha
menenangakn Sekar dengan mengelus lembut rambut Sekar.
Sekar mengangkat kepalanya ketika beberapa detik terdiam.
“Apa itu?” tanyanya seray menunjuk benda berkilau yang
terkena ombak.
Mereka menghampiri benda itu dan mengambilnya.
“Kerang!” seru Sekar.
Pemuda itu membuka kerang yang seukuran telapak tangannya.
Ada sebuah mutiara di dalamnya.
“Wow, indahnya!” mata Sekar berbinar-binar melihat mutiara
yang berwarna putih bersih itu.
“Tapi tak seindah kamu,” puji pemuda itu pada Sekar.
Pipi sekar bersemu merah. Dia tersipu malu.
“Kamu tahu? Aku mempunyai sebuah mutiara yang harus aku
jaga 24 jam agar tidak diambil oleh orang lain,” lanjutnya.
“Tapi, bukannya mutiaramu hanya memandangmu seorang?”
“Iya. Tapi, aku harus ekstra menjaga mutiaraku, karna
banyak orang yang mengincarnya… Kamu tau aku menyimpannya dimana?”
“Dimana” Tanya Sekar balik.
“Di sini. Di hatiku” jawab pemuda itu sambil memegang dada
kirinya.
Sekar tersenyum. Baginya, hanya pemuda inilah yang mampu
meluluhkan hatinya dan mampu membuat suasan hatinya yang semula kuncup menjadi
mekar.
“Sekar.. kaulah mutiaraku. I love you, mutiaraku,” pemuda
itu mencium kening Sekar dengan lembut.
***
Semilir
angin meniup gaun dan rambut seorang
gadis yang sedang duduk termenung di pesisir pantai. Matanya sembab. Wajahnya
terlihat kacau. Pikirannya tak henti-hentinya memikirkan kenangan manis di
pantai ini.
“Rafael”
lirih gadis yang mempunyai rambut bergelombang seperti ombak.
Ingin
rasanya dia menangis sejadi-jadinya, namun air mata itu telah terkuras habis
karna dari kemarin dia tak berhenti menangis. Sekar mendekap dirinya ketika
angin kencang berhembus. Badannya mulai menggigil. Jika dia terus-terusan di
sana, dia bias sakit. Tidak. Dia memang telah sakit. Namun bukan angin
penyebabnya. Kenangan itulah penyebabnya.
***
“Kamu
dari mana saja, Sekar? Sudah makan? Kalau belum, kita makan sama-sama yuk” ajak
nyonya Elisabeth ketika Sekar tiba di rumah.
“Ta..tante
nunggu Sekar?”
“Ya
iya. Yuk! Om Darmoko sudah nunggu” nyonya Elisabeth menarik lengan Sekar.
Betapa
beruntungnya Sekar bisa tinggal bersama keluarga Darmoko. Dia semakin terharu
dengan perlakuan nyonya dan tuan Darmoko yang selalu menganggapnya sebagai anak
sendiri.
Keluarga
Darmoko selalu memperlakukannya dengan baik itu karna budi pekerti Sekar yang
baik. Walaupun dia telah menjadi model professional yang dikagumi banyak orang,
namun keramahan dan kerendahan hatinya masih sama seperti dulu. Itulah yang
disukai keluarga Darmoko.
Sejak
kecil, Sekar sudah tidak mempunyai orang tua. Sebelumnya dia hanya gadis panti
asuhan. Tapi, ketika dia bertemu Rafael sewaktu SMA, dia meninggalkan panti dan
tinggal bersama Rafael. Sebenarnya, dia tidak mau meninggalkan panti karna
sejak kecil hingga beranja dewasa dia tinggal di sana. Tetapi, Rafael memaksa.
Orang tua Rafael juga ikut-ikutan.
Sekar
yang memang sudah menjalin hubungan dengan Rafael akhirnya pasrah dan tinggal
di rumah keluarga Darmoko. Hubungan yang mereka jalani tak ada yang
mengetahuinya karna mereka memang tak pernah mengatakannya. Jika mereka
terlihat sering bersama, orang2 berpikir mereka hanyalah sepupu.
Setahun
lalu, Rafael mengalami kecelakaan yang merenggut nyawanya. Dan sekarang adalah
hari peringatan kematiaannya.
***
Satu jam lagi Sekar akan melakukan pemotretan. Setelah
berpakaian, dia duduk di depan meja rias dan membuka kotak riasnya.
Diperhatikannya wajahnya dari cermin. Masih buruk. Namun, tak seburuk kemarin.
Rautan lelah diwajahnya masih bias ditutupi dengan make up.
Sebelum pergi ke lokasi pemotretan Sekar menyempatkan diri
untuk berkujung ke makam Rafael. Sekar berusaha menahan air matanya gar tidak
tumpah ketika berada di depan makam Rafael.
“Apa kamu bahagia di sana? Aku harap iya. Kamu jangan
khawatirkan aku. Aku akan selalu setia padamu. Aku tidak akn mengingkari janji
cinta kita,” ucapnya sambil memandang batu nisan yang tertiliskan nama Rafael.
Sekar sudah tak dapat menahan air matanya agar tidak
tumpah. Air mata yang telah terisi kembali kini meluap keluar. Tetesan bening
membasahi pipinya.
***
Usai pemotretan, beberapa orang saling berbincang.
Sedangkan Sekar memilih segera berganti pakaian dan pergi.
“Mutiara!” panggil seseorang.
Sekar menghentikan langkahnya. Hatinya bergetar. Sudah lama
tidak ada yang memanggilnya dengan nama itu. Yah, walaupun dia tak lagi memakai
nama itu, namun dia tahu panggilan itu ditujukan padanya.
“Kamu mau pulang?” Tanya Morgan ketika telah mensejajari
Sekar.
Sekar mengangguk.
“Gak makan siang dulu?” tanyanya yang terdengar mengajak.
***
Kini Sekar dan Morgan yang merupakan teman seprovesi itu
telah berada disebuah lestoran mewah. Makanan telah siap di meja. Sekar melahap
makanan itu tanpa selera, morgan tau itu. Tapi dia tak tau apa yang menyebakan
Sekar seperti itu.
“Akhir2 ini kenapa aura modelmu berkurang?”
Tanya Morgan membuka pembicaraan.
Sekar hanya menatap Morgan sesaat. Kembali dia menikmati
makanan yang sebenarnya dia enggan memasukkannya kemulut.
“kamu ada masalah?” Tanya Morgan menyelidik.
Sekar meletakkan sendok dan garpu yang dipegangnya.
“Tidak seharusnya kamu tau semua hal,” ucapnya ketus.
“OK. Itu hakmu. Tapi, kalau kamu ada masalah, kamu bias
menceritakannya padaku. Siapa tau aku bias bantu,”
“Oh iya, jangan panggil aku dengan sebutan mutiara lagi,” ucap Sekar yang terkesan
menghiraukan ucapan Morgan.
“Kenapa? Nama itu sangat cocok denganmu,”
Sekar menatap Morgan tajam.
“Baiklah. Aku tidak akan memanggilmu dengan sebutan itu
lagi,”
Sejak Rafael memanggil Sekar dengan sebutan mutiara, sejak itu pula Sekar
menggunakan nama itu sebagai nama panggungnya. Terlebih lagi dengan warna
kulitnya yang putih seputih mutiara, sangat cocok dengan nama itu. Namun,
semenjak Rafael meninggal dunia, Sekar selalu merasa hatinya tertusuk-tusuk
ketika ada yang memanggilnya dengan sebutan itu. Oleh karna itu, dia memutuskan
untuk menggunakan nama aslinya lagi. Sekar Reina Putri.
***
Hari2 selanjutnya, Morgan sering mengajak Sekar
makan bersama. Dia juga pernah ke rumah Sekar. Entah mengapa Sekar merasakan
sesuatu yang aneh pada diri Morgan. Biasanya, dia tak sering mengajaknya
mengobrol.
“Ataukah karna dia
tau aku sedang bersedih, dan dia berusaha menghiburku?” pikirnya.
“Kelihatannya kamu sering jalan bareng Morgan,” celetuk
nyonya Elisabeth ketika Sekar membantunya mengelap piring2 dan alat
makan lain.
Sejenak Sekar berhenti mengelap piring.
“Kita hanya teman, tan,” jawab Sekar.
“Sekar,” nyonya Elisabeth menghentikan aktivitasnya.
Pandangannya tertuju pada Sekar. “Tidak apa2 jika kamu membuka
hatimu untuk orang lain,”
Sekar menaruh piring yang telah dilapnya ketumpukan piring
bersih. Pandangan beralih pada nyonya Elisabeth.
“Dihatiku selalu ada Rafael, tan,” ucap Sekar miris.
“Rafael sudah tak di sini. Dia sudah tenang di alam sana.
Kamu yang masih hidup, lanjutkan kehidupanmu dengan membuka lembar baru
kembali,”
Sekar tertunduk.
“Rafael, om, dan tante sangat bersyukur kamu hadir di
tengah2 kami. Kamu memberikan warna baru dihidup kami. Sekarang kamu
harus membuka hati dan lembaran baru…. Rafael pasti mengerti. Sepertinya, dia
malah akan sedih jika kamu seperti ini,” tutur nyonya Elisabeth panjang lebar.
Tetesan bening kembali membasahi pipi Sekar. Nyonya
Elisabeth segera memeluknya, berusaha menenangkan.
***
Membuka lembaran
baru.
Kalimat itu telah Sekar cerna dengan baik. Hal pertama yang
dilakukannya untuk membuka lembaran baru adalah tinggal di rumah baru, rumahnya
sendiri.
Nyonya Elisabeth dan tuan Darmoko membantu merapaikan
barang2 di rumah baru Sekar yang terletak dikomplek yang tak jauh
dari rumah keluarga Darmoko.
Tak seperti hari2 setahun ini yang dijalaninya
tanpa senyuman. Hari ini, seolah semua beban telah hilang. Tapi, bukan berarti
dia melupakan Rafael. Sekar selalu mengingatnya dan dia berharap mereka dapat
bertemu kembali di sana nanti. Sebelum Sekar bertemu dengannya lagi, Sekar
harus menjalani hidupnya dengan keceriaan walaupun tanpa dia. Karna yang hidup
harus tetap melanjutkan hidupnya, sepahit apapun itu.
Ting…. Tong.…
“siapa itu? Aku baru
saja pindah dan belum aku beritahu siapapun tentang rumah ini, tapi kenapa
sudah ada tamu?” batinnya.
“Biar Sekar saja, tan,” sergah Sekar ketika nyonya
Elisabeth beranjak dari tempatnya untuk membuka pintu.
Sekar menaruh barang2 yang dipegangnya ke dalam
kardus, lalu berjalan ke ruang tamu untuk membuka pintu.
“Morgan?” pekiknya ketika melihat tamu yang datang ternyata
Morgan.
“Hai! Aku sengaja berkunjung, sekalian bantu2,”
ujarnya seraya tersenyum semringah.
“Dari mana kamu tau rumahku?” Tanya Sekar heran.
Morgan melirik ke dalam mencari seseorang. Sekar juga
ikut-ikutan menoleh ke dalam.
“Tante Elisabeth dan om Darmoko yang bilang?” tebak Sekar
yang tepat sasaran.
“Eh, nak Morgan sudah datang? Ayo masuk!” ajak tuan Darmoko
yang tiba2 muncul.
Morgan pun masuk. Sekar tak bisa berbuat apa2
untuk menolak kehadiran Morgan. Mana mungkin dia memarahi orang yan berniat
membantunya.
Sekar tersenyum bahagia melihat om Darmoko, nyonya
Elisabeth dan Morgan yang membantunya. Mereka pun terlihat bahagia.
“Seandainya kamu masih ada di sini, Raf, mungkin kita sudah
membangun rumah bersama,” gumamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar